GATOT WICAKSONO
DALANG KEDIRI YANG TIDAK PUNYA WAYANG & GAMELAN
Pria jangkung berkumis tipis itu menyarungkan kerisnya di bagian belakang punggung bawah, atau pinggang. Orang jawa menyebutnya di "bangkek-an". Sekali lagi ia membungkuk dan menatap cermin dihadapannya, lalu merapikan sekali lagi busana yang ia kenakan. Kain batik/jarik dan atasan warna hitam, sebuah slop menutupi dua kakinya. Sejenak ia menunduk untuk berdoa, lalu bergegas meninggalkan ruang rias/ganti, yang persis dibelakang layar putih, ruang utama pertunjukan.
Ia melangkah dengan pasti, lalu duduk dideretan kursi persis depan gamelan. Sementara jauh dibelakangnya, kursi kursi penonton mulai terisi. Malam itu, ratusan pasang mata akan melihat kepiawaiannya dalam "mendalang".
Pembawa acara mulai menyapa penonton, panitia dan segenap yang hadir, kala gamelan usai mengumandangkan beberapa gending pembuka. Kepadanya diserahkan wayang kulit tokoh Wisanggeni oleh pihak panitia. Setelah bersalaman, tepuk tangan terdengar dari seluruh penjuru gedung. Ia lalu menuju "singgasana"nya, membelakangi penonton, dan duduk bersila dihadapan bentangan kain putih bersih yang ia sebut sebagai "dunia"nya. Sejenak doa bersama agar pagelaran berjalan lancar, maka terdengarlah bunyi "cempala" yang dikethukkan ke kotak wayang disusul jumengglungnya gamelan. Wayang Kulit segera dimulai.
Sang dalang adalah Ki Gatot Wicaksono, melakonkan kisah Wisanggeni Gugat, untuk perayaan 10 tahun Santi Paguyuban Kediri (Sanyuri) Priangan/ Jabar di Bandung, pada pertengahan April 2011 lalu. Gedung Pertemuan PTDI yang tak jauh dari bandara Husein Sastranegara Bandung itu, menjadi saksi atas eksistensi sang dalang bermain jauh dari kampung halamannya, Kediri Jawa Timur.
Kehadiran Gatot Wicaksono, benar benar menjadi obat kangen bagi warga Kediri di perantauan khususnya di Bandung, pada kampung halamannya. Bahasa Jawa dialek Kediren (Kediri-an) begitu melekat terdengar hingga relung bathin penonton. Belum lagu ungkapan ungkapan khas Kediri yang lekoh ia ucapkan, terdengar betapa berwarna sangat sangat Kediri.
Jangan tanyakan bagaimana sang dalang ‘mengolah’ waktu yang hanya 4 – 5 jam dalam pekeliran padat itu. Lakon Wisanggeni Gugat, meski dengan dipadat-kan, tak mengurangi makna cerita yang ditampilkan. Dialog demi dialog antar tokoh wayang satu dengan tokoh lainnya, nyata layaknya dalam kehidupan pewayangan yang sebenarnya. Belum lagi, kepiawaian sang dalang dalam ‘menggerakkan’ wayang, betapa makin membuat hidup pagelaran malam itu. Rasanya sungguh kurang, ketika hanya dipentaskan selama 4 jam saja.
Hingga jelang jam satu dinihari Wayang berakhir, banyak diantara penonton yang berdecak kagum akan ‘mumpuni’-nya sang dalang dalam beraksi. Namun tak sedikit diantara mereka yang bergumam, “andai semalam suntuk”.
Gatot Wicaksono, adalah dalang wayang kulit papan atas di Kediri Jawa Timur. Kedatangannya ke Bandung, atas permintaan Sanyuri Priangan. Ia menjadi duta bagi Pepadi Kabupaten Kediri, sekaligus yang mendapat amanat dari Pemerintah Kabupaten Kediri. Ia mengisahkan, beberapa waktu sebelumnya diberitahukan oleh pihak Pepadi (Persatuan Pedalangan Indonesia) atas order dari pemkab.
Sebagai seorang duta seni budaya melalui seni pedalangan, malam itu Gatot sangatlah berhasil mengajak serta penonton terbawa larut dalam cerita yang ia bawakan, pula meretas kerinduan mengenai tlatah Kabupaten Kediri. Apapun kemajuan, kelebihan dan kekurangan yang terjadi di Kediri, ia gambarkan dalam dialog demi dialog yang terwakili oleh tokoh sang wayang, utamanya pada saat Limbuk-an Cangik. Paparan informasi, sekaligus kritisi mengalir begitu cerdas tanpa berprasangka, apalagi terbalut dalam suasana yang konstruktif yang bersahabat dengan penonton. Seakan ia ingin mengabarkan langsung dalam perbincangan dengan penontonnya.
Seperti tercermin dalam cuplikan statemennya, “ di Kediri, sungguh susah mencari penabuh gamelan sekaligus anak anak muda untuk diajak dan diajari nembang. Tapi di Bandung, warga asal Kediri, cakap bermain gamelan dan mengiri saya mayang, plus nembang dan bahkan ada seni sendratari segala”. Semakin “gayeng” ia tidak tampil sendirian. Gatot didampingi sindhen cilik asal Kras Kediri, Prigel Pangayu Anjar Wening. Murid SD Kras 1 kelas empat itu, ‘digojlog habis’ oleh sang dalang. Gatot menyindir dengan, “Walaaah, Prigel suaramu benar benar T.O.P.B.G.T”. nDuk prigel, kamu tak ajak kemana mana, nanti diambil dalang terkenal, aku kamu lupakan?”.
Demikianlah Gatot mengurai dengan sangat segar, dan benar benar menghibur sekaligus sarat pesan yang bermakna. Seperti halnya ketika ia menceritakan mengenai semangat jihad, pula terror bom yang sedang marak akhir akhir ini. Tak lupa ia menyisipkan ungkapan yang khas Kediri dengan bumbu humor, “nyebut asmane Gusti Allah, trus mak bleeeeeeeeeng, akeh sing dadi korban mergo bom. Kuwi jane kelakuan opo……jan matamuuu kuwi…”. Seketika disambut tawa yang meledak dan tepuk tangan penonton. Pada sisi ini, Gatot ingin menyampaikan pesan bahwa berjuang demi kepentingan dan kebaikan negeri ini, tak selayaknya mengorbankan warga lain yang tak bersalah.
Gatot belajar mendalang sejak tahun 90an. Pria kelahiran 18 Agustus 1966 yang dulu pernah belajar ‘tani’ di STM Pertanian Ngadiluwih Kediri itu, memilih jadi pendalang karena ia harus menjalani dorongan cita cita dalam dirinya yang begitu kuat, pula karena kecintaannya pada seni dan budaya Jawa. Darah seni pewayangan memang mengalir kental dalan dirinya. Ayahnya adalah pak Maki, pembuat wayang kulit yang terkenal di Mojo Kabupaten Kediri. Bahkan, orang tua pak Maki (Kakek Gatot) juga seorang pembuat wayang kulit.
Bicara soal prestasi, tak perlu diragukan lagi. Tahun 2000 Gatot dinobatkan sebagai Juara pertama pedaling muda di Kabupaten dan Kota Kediri. Tahun 2001 ia masuk 10 besar dalang papan atas di Jawa Timur.
Hingga kini Gatot dalam sebulan mendalang lebih dari 5 hingga 6 kali pementasan. Tak hanya wilayah Kediri, ia mendalang berkeliling Jawa Timur. Ironisnya, ia hingga kini belum memiliki seperangkat gamelan dan wayang sendiri. Apakah ia tak mampu membeli gamelan dan wayang sendiri? Dengan tenang ia menjawab, “Meski tak punya keahlian selain ndalang, saya ndalang tak untuk komersialisasi tingkat tinggi. Saya menjaga seni dan budaya ini dengan segenap dan sepenuh hati agar tetap hidup. Yang terpenting, seniman dan para pegiatnya tetap bisa mencari nafkah di jalur ini, saya sudah cukup bersyukur. Bahwa saya belum bisa mencukupi untuk memiliki wayang dan gamelan sendiri, saya akan terus berusaha. Saya tak ingin ngemis ngemis, apalagi kepada Pemerintah, yang seharusnya memang memperhatikan kami, para penjaga pagar budaya ini. Gusti Allah Maha Tahu Segalanya”.
link youtube : http://www.youtube.com/watch?v=0_0acJMnuiQ
--------
Partho "Bentang Waktu"
Bandung 17/04/2011
DALANG KEDIRI YANG TIDAK PUNYA WAYANG & GAMELAN
Pria jangkung berkumis tipis itu menyarungkan kerisnya di bagian belakang punggung bawah, atau pinggang. Orang jawa menyebutnya di "bangkek-an". Sekali lagi ia membungkuk dan menatap cermin dihadapannya, lalu merapikan sekali lagi busana yang ia kenakan. Kain batik/jarik dan atasan warna hitam, sebuah slop menutupi dua kakinya. Sejenak ia menunduk untuk berdoa, lalu bergegas meninggalkan ruang rias/ganti, yang persis dibelakang layar putih, ruang utama pertunjukan.
Ia melangkah dengan pasti, lalu duduk dideretan kursi persis depan gamelan. Sementara jauh dibelakangnya, kursi kursi penonton mulai terisi. Malam itu, ratusan pasang mata akan melihat kepiawaiannya dalam "mendalang".
Pembawa acara mulai menyapa penonton, panitia dan segenap yang hadir, kala gamelan usai mengumandangkan beberapa gending pembuka. Kepadanya diserahkan wayang kulit tokoh Wisanggeni oleh pihak panitia. Setelah bersalaman, tepuk tangan terdengar dari seluruh penjuru gedung. Ia lalu menuju "singgasana"nya, membelakangi penonton, dan duduk bersila dihadapan bentangan kain putih bersih yang ia sebut sebagai "dunia"nya. Sejenak doa bersama agar pagelaran berjalan lancar, maka terdengarlah bunyi "cempala" yang dikethukkan ke kotak wayang disusul jumengglungnya gamelan. Wayang Kulit segera dimulai.
Sang dalang adalah Ki Gatot Wicaksono, melakonkan kisah Wisanggeni Gugat, untuk perayaan 10 tahun Santi Paguyuban Kediri (Sanyuri) Priangan/ Jabar di Bandung, pada pertengahan April 2011 lalu. Gedung Pertemuan PTDI yang tak jauh dari bandara Husein Sastranegara Bandung itu, menjadi saksi atas eksistensi sang dalang bermain jauh dari kampung halamannya, Kediri Jawa Timur.
Kehadiran Gatot Wicaksono, benar benar menjadi obat kangen bagi warga Kediri di perantauan khususnya di Bandung, pada kampung halamannya. Bahasa Jawa dialek Kediren (Kediri-an) begitu melekat terdengar hingga relung bathin penonton. Belum lagu ungkapan ungkapan khas Kediri yang lekoh ia ucapkan, terdengar betapa berwarna sangat sangat Kediri.
Jangan tanyakan bagaimana sang dalang ‘mengolah’ waktu yang hanya 4 – 5 jam dalam pekeliran padat itu. Lakon Wisanggeni Gugat, meski dengan dipadat-kan, tak mengurangi makna cerita yang ditampilkan. Dialog demi dialog antar tokoh wayang satu dengan tokoh lainnya, nyata layaknya dalam kehidupan pewayangan yang sebenarnya. Belum lagi, kepiawaian sang dalang dalam ‘menggerakkan’ wayang, betapa makin membuat hidup pagelaran malam itu. Rasanya sungguh kurang, ketika hanya dipentaskan selama 4 jam saja.
Hingga jelang jam satu dinihari Wayang berakhir, banyak diantara penonton yang berdecak kagum akan ‘mumpuni’-nya sang dalang dalam beraksi. Namun tak sedikit diantara mereka yang bergumam, “andai semalam suntuk”.
Gatot Wicaksono, adalah dalang wayang kulit papan atas di Kediri Jawa Timur. Kedatangannya ke Bandung, atas permintaan Sanyuri Priangan. Ia menjadi duta bagi Pepadi Kabupaten Kediri, sekaligus yang mendapat amanat dari Pemerintah Kabupaten Kediri. Ia mengisahkan, beberapa waktu sebelumnya diberitahukan oleh pihak Pepadi (Persatuan Pedalangan Indonesia) atas order dari pemkab.
Sebagai seorang duta seni budaya melalui seni pedalangan, malam itu Gatot sangatlah berhasil mengajak serta penonton terbawa larut dalam cerita yang ia bawakan, pula meretas kerinduan mengenai tlatah Kabupaten Kediri. Apapun kemajuan, kelebihan dan kekurangan yang terjadi di Kediri, ia gambarkan dalam dialog demi dialog yang terwakili oleh tokoh sang wayang, utamanya pada saat Limbuk-an Cangik. Paparan informasi, sekaligus kritisi mengalir begitu cerdas tanpa berprasangka, apalagi terbalut dalam suasana yang konstruktif yang bersahabat dengan penonton. Seakan ia ingin mengabarkan langsung dalam perbincangan dengan penontonnya.
Seperti tercermin dalam cuplikan statemennya, “ di Kediri, sungguh susah mencari penabuh gamelan sekaligus anak anak muda untuk diajak dan diajari nembang. Tapi di Bandung, warga asal Kediri, cakap bermain gamelan dan mengiri saya mayang, plus nembang dan bahkan ada seni sendratari segala”. Semakin “gayeng” ia tidak tampil sendirian. Gatot didampingi sindhen cilik asal Kras Kediri, Prigel Pangayu Anjar Wening. Murid SD Kras 1 kelas empat itu, ‘digojlog habis’ oleh sang dalang. Gatot menyindir dengan, “Walaaah, Prigel suaramu benar benar T.O.P.B.G.T”. nDuk prigel, kamu tak ajak kemana mana, nanti diambil dalang terkenal, aku kamu lupakan?”.
Demikianlah Gatot mengurai dengan sangat segar, dan benar benar menghibur sekaligus sarat pesan yang bermakna. Seperti halnya ketika ia menceritakan mengenai semangat jihad, pula terror bom yang sedang marak akhir akhir ini. Tak lupa ia menyisipkan ungkapan yang khas Kediri dengan bumbu humor, “nyebut asmane Gusti Allah, trus mak bleeeeeeeeeng, akeh sing dadi korban mergo bom. Kuwi jane kelakuan opo……jan matamuuu kuwi…”. Seketika disambut tawa yang meledak dan tepuk tangan penonton. Pada sisi ini, Gatot ingin menyampaikan pesan bahwa berjuang demi kepentingan dan kebaikan negeri ini, tak selayaknya mengorbankan warga lain yang tak bersalah.
Gatot belajar mendalang sejak tahun 90an. Pria kelahiran 18 Agustus 1966 yang dulu pernah belajar ‘tani’ di STM Pertanian Ngadiluwih Kediri itu, memilih jadi pendalang karena ia harus menjalani dorongan cita cita dalam dirinya yang begitu kuat, pula karena kecintaannya pada seni dan budaya Jawa. Darah seni pewayangan memang mengalir kental dalan dirinya. Ayahnya adalah pak Maki, pembuat wayang kulit yang terkenal di Mojo Kabupaten Kediri. Bahkan, orang tua pak Maki (Kakek Gatot) juga seorang pembuat wayang kulit.
Bicara soal prestasi, tak perlu diragukan lagi. Tahun 2000 Gatot dinobatkan sebagai Juara pertama pedaling muda di Kabupaten dan Kota Kediri. Tahun 2001 ia masuk 10 besar dalang papan atas di Jawa Timur.
Hingga kini Gatot dalam sebulan mendalang lebih dari 5 hingga 6 kali pementasan. Tak hanya wilayah Kediri, ia mendalang berkeliling Jawa Timur. Ironisnya, ia hingga kini belum memiliki seperangkat gamelan dan wayang sendiri. Apakah ia tak mampu membeli gamelan dan wayang sendiri? Dengan tenang ia menjawab, “Meski tak punya keahlian selain ndalang, saya ndalang tak untuk komersialisasi tingkat tinggi. Saya menjaga seni dan budaya ini dengan segenap dan sepenuh hati agar tetap hidup. Yang terpenting, seniman dan para pegiatnya tetap bisa mencari nafkah di jalur ini, saya sudah cukup bersyukur. Bahwa saya belum bisa mencukupi untuk memiliki wayang dan gamelan sendiri, saya akan terus berusaha. Saya tak ingin ngemis ngemis, apalagi kepada Pemerintah, yang seharusnya memang memperhatikan kami, para penjaga pagar budaya ini. Gusti Allah Maha Tahu Segalanya”.
link youtube : http://www.youtube.com/watch?v=0_0acJMnuiQ
--------
Partho "Bentang Waktu"
Bandung 17/04/2011