Selasa, 27 Desember 2011

GLAGAH & TEBU

foto dari http://gendhispethak.wordpress.com

Kapan anda terkahir makan tebu? Maksudnya, tebu batangan (lonjoran) yang baru saja ditebang dari kebon, lalu hanya dikupas bagian kulitnya dengan pisau atau alat lainnya, dan setelah nampak bagian dalam-nya kita memakan dengan potongan kecil kecil? Berasa manis dan segar, apalagi jika berair melimpah. Orang Jawa menyebutnya dengan “angkleg” saking manis-nya. Berbeda bila kita makan air tebu, atau tebu yang sudah diperas sebelumnya dengan mesin penggiling.

Sebagai anak buruh perkebunan sejak kecil saya menggemari tebu. Saking gemarnya, ada keasyikan tersendiri bagi saya menikmati tebu ini. Dari keluarga bapak dan ibu, memang berasal dari perkebunan. Bedanya, Orang tua bapak (kakek) bidang mesin pengelohan di pabrik. Sedang dari pihak ibu, kakek saya adalah orang perkebunan tulen. Maksudnya, sehari hari berkutat dengan urusan tebu mulai cocok tanam, pengolahan lahan, perawatan tanaman tebu, hingga panen pada musim tebang. Karena lingkungan dan sudah menjadi budaya itulah, rasanya setiap anak yang terlahir dan besar di wilayah perkebunan, tentu mengenal akrab tanaman tebu.

Yang paling utama adalah, kala musim kembang tebu. Kembang tebu disebut juga dengan GLAGAH. Glagah ini bentuknya memanjang lurus, seperti pensil. Panjangnya bisa mencapai dua meter. Sebenranya lebih tepat glagah adalah, batang bunga tebu. Karena pada bagian pucuknya, bunga tebu berwarna putih tipis layaknya tanaman padi padian lainnya. Glagah inilah yang menjadi bahan untuk membuat mainan anak anak.

Membuat mobil mobilan, membuat senapan, membuat rumah rumahan, semuanya berbahan tangkai bunga tebu. Sungguh mengasyikkan. Tangkai bunga tebu dipotong sekitar 10 – 30 centimeter, lalu disusun rapi hingga setinggi 5 centimeter. Kedua ujungnya di tusuk dengan biting dan diikat dengan karet gelang. Dibentuk menyerupai empat persegi panjang, sudah layaknya bodi kendaraan roda empat. pada bagian atasnya, disusun lagi menyerupai ruang kabin mobil atau truck. pada bagian sisi bawah sekaligus untuk penguat dipasang kerangka tambahan, dan disiapkan layaknya ban untuk roda, bahannya dari sandal jepit bekas. Jadilah mobil – mobilan.

Sepulang sekolah, dulu di perkebunan Djengkol (17 kilometer timur Kota Kediri), saat masih anak anak usia 10 tahun, pada musim kembang tebu, saya banyak membuat mainan ini. Mulai mobil jenis sedan, truck, bahkan bus, hingga model layaknya traktor. Setelah dipajang dan puas menikmatinya, bagian akhir dari permainan ini adalah, “adu mobil mobilan glagah”. Caranya, mobil mobilan yang kita miliki, berhadap hadapan dengan milik kawan lainnya berjarak maksimal 5 meter, kita lari dan keduanya harus bertabrakan. Maka…”Braaaak”, setelah “peristiwa tabrakan” berlangsung, dilihat mobil mobilan mana yang masih utuh, dialaha pemenangnya.

Kenangan ini, rasanya ingin berulang saya nikmati. Hanya dimana saya mendapat glagah sang bunga tebu ini? Penasaran dengan kerinduan mendalam akan glagah kembang tebu ini, saya searching. Takjub bukan kepalang, menemukan dokumen yang sangat sangat luar biasa menurut saya. Sebuah buku lama, yang ditulis oleh Augusta De Wit berjudul NATUUR EN MENSHEN IN INDIE dan diterbitkan pada awal abad 19 pada jaman Hindia Belanda, memuat sebuah gambar yang sekali lagi membuat saya terkaget kaget.

Sebuah foto tua, didalamnya terdapat dua orang pribumi buruh tebang tebu, sedang memang seikat pohon tebu saat panen. Bukan main tinggi dan besar tebunya. Selisik mendalam dokumen berbahasa Belanda ini menyebutkan bahwa, gambar itu adalah gambar panen tebu di Jawa Timur (Oost Java). Saya langsung membayangkan, bila tebunya sebesar dan setinggi dua kali lipat tinggi orang Jawa pada masa masa itu, seperti apa (sebesar dan panjang) kira kira glagah kembang tebu-nya ya?

foto dari : Augusta De Wit

Bila melihat foto tadi, dan dibandingkan dengan kwalitas tebu jaman sekarang, tak terbayangkan jauh bedanya. Seingat saya, tiga tahun lalu di Kediri saya pernah secara langsung makan tebu dari kebun. Tapi tak seperti gambar awal abad 19an ini. Ada lagi yang membuat saya kini makin bertanya tanya. Masih adakah anak anak di dusun, di desa desa, di perkebunan di bumi nusantara ini, yang masih memainkan dan membuat mainannya sendiri dari kembang tebu?

[bw|kandaters]

---

Wanneer heeft u voor het laatst gegeten suikerriet? Dat wil zeggen, suikerriet stokken (lonjoran) die net gesneden uit de tuin, dan gewoon geschild de huid met een mes of ander gereedschap, en het zien van de binnenkant van het eten we met kleine stukjes? Smaak zoet en fris, vooral als er water in overvloed is. De Javanen noemen het de "angkleg" het was zo lief. In tegenstelling tot wanneer we suiker water, of suikerriet te eten, dat is al eerder gedrukt door slijpmachines.

Als een klein kind plantage werknemers, aangezien ik graag suikerriet. Dus gemarnya een eigen preoccupaties voor mij om dit riet te genieten. Van de familie vader en moeder, is afgeleid van plantages. Het verschil, de vader ouders (grootouders) veld pengelohan machines in de fabriek. Welzijn van de moeder, mijn grootvader was een echte plantage. Dat wil zeggen, dag tot dag gang van zaken van suikerriet begon worstelen met bijsnijden, ruimtelijke ordening, de behandeling van suikerriet, om het oogstseizoen oogst. Omdat de omgeving en is uitgegroeid tot een cultuur die is, lijkt elk kind geboren en getogen in de plantage gebieden, zeker vertrouwde suikerriet.

Het belangrijkste is, wanneer de bloem cane seizoen. Suikerriet bloem wordt ook wel de Glagah. Dit Glagah rechte langwerpige vorm, als een potlood. De lengte kan bereiken twee meter. Sebenranya Glagah is preciezer, suikerriet bloemstelen. Omdat in de kiem, bloem dunne witte stok gewassen zoals rijst, andere granen. Glagah dat is het materiaal voor speelgoed van de kinderen te maken.

Maak speelgoed auto's, het maken van wapens, het maken van een huis een thuis, allemaal gemaakt van riet bloemstengels. Het was leuk. Bloemstelen van suikerriet gesneden ongeveer 10-30 centimeter, dan is keurig ingericht om zo hoog als vijf centimeter. Beide eindigt op spiesjes met bijten en gebonden met elastiekjes. De vorm van een rechthoek, het is net vier-wiel voertuig. aan de top, gerangschikt meer als een auto of vrachtwagen cabine ruimte. aan de onderkant van de versterker gemonteerd op een keer voor een extra kader, en bereid als een band om het wiel, het materiaal van de gebruikte flip-flops. Be auto's - speelgoed.

Na school, eerst bij de plantage Djengkol (17 kilometer ten oosten van Kediri), terwijl nog een kind leeftijd 10 jaar, het suikerriet bloem seizoen, maakte ik veel van dit speelgoed. Start sedan het type auto, vrachtwagen, bus en zelfs, naar een model als trekker. Eenmaal tevreden op het display en geniet ervan, is het einde van het spel, "Glagah speelgoed race auto". De truc, speelgoed auto's die we hebben, oog in oog met de andere broers die behoren binnen een straal van 5 meter, we liepen en ze moeten met elkaar botsen. Dus ... "Braaaak", na "collision event" plaats vond, te zien waar het speelgoed auto is nog intact, dialaha winnaar.

Dit geheugen, het voelt om te herhalen ik geniet. Precies waar ik de bloem cane Glagah dit hebt? Geïntrigeerd met een diepe verlangen naar Glagah bloem cane, was ik op zoek. Absurd verbazing, vond een document dat zeer ongebruikelijk is in mijn mening. Een oud boek, geschreven door Augusta de Wit met de titel Natuur MENSHEN EN IN INDIE en gepubliceerd in het begin van de 19e eeuw, Nederlands Oost-Indië tijdperk, bevat een beeld dat weer maakt me terkaget geschokt.

Een oude foto, waarin er twee autochtone werknemers snijden suikerriet, is inderdaad een bundel van suikerriet tijdens de oogst. Wat een grote hoogte en riet. Insteekdiepte van deze Nederlands-taal document stelt dat het beeld is een foto van suikerriet oogst in Oost-Java (Oost Java). Ik meteen dacht, toen de stok zo groot en hoog is als twee keer de hoogte van de Javaanse in die periode, wat voor soort (grootte en lengte) van ongeveer Glagah zijn wandelstok bloemen huh?

Wanneer je de foto hierboven te zien, en vergeleken met de kwaliteit van suikerriet tot het heden, onvoorstelbare veel verschil. Als ik me goed herinner, drie jaar geleden in Kediri ik nooit eet suikerriet rechtstreeks uit de tuin. Maar in tegenstelling tot de eerdere foto van deze 19an eeuw. Iets anders dat maakt me nu meer en meer vragen te stellen. Waren er meer kinderen in het gehucht, in de dorpen, op het landgoed op aarde deze archipel, die nog steeds speelt en het maken van hun eigen speelgoed uit suikerriet bloem?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar